Kamis, 15 April 2010

Masa Kemajuan Islam (650-1000 M) Khilafah Rasyidah

Khilafah Rasyidah merupakan pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang demokratis.
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa'idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad SAW, dengan sendirinya batal setelah Nabi wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat jenderal yaitu Abu Ubaidah, Amr ibn 'Ash, Yazid ibn Abi Sufyan dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibn Walid diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.
Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. Ia diganti oleh "tangan kanan"nya, Umar ibn Khattab. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (Komandan orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash. Iskandaria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun hijrah.
Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn 'Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.
Di masa pemerintahan Utsman (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristall berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena umumnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya pada tahun 35 H 1655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh karabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegjatan yang penting. Usman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut) Ali, dan al-Khawarij (oran-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok al-khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara Mu'awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai.
Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Mu'awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama'ah ('am jama'ah)! Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa'ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Ketika itu wilayah kekuasaan Islam sangat luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah mempunyai pengalaman politik yang memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat antara lain adalah:
Islam, disamping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
Dalam dada para sahabat, tertanam keyakinan tebal tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Disamping itu, suku-suku bangsa Arab gemar berperang. Semangat dakwah dan kegemaran berperang tersebut membentuk satu kesatuan yang padu dalam diri umat Islam.
Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu, mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.
Pertentangan aliran agama di wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksakan aliran yang dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya peperangan melawan Persia.
Islam datang ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya dan masuk Islam.
Bangsa Sami di Syria dan Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.
Mesir, Syria dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.
Mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada Ali dinamakan periode Khilafah Rasyidah. Para khalifahnya disebut al-Khulafa' al-Rasyidun, (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah para khalifah betul-betul menurut teladan Nabi. Mereka dipilih melalui proses musyawarah, yang dalam istilah sekarang disebut demokratis. Setelah periode ini, pemerintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa khilafah Rasyidah, tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan; Mereka selalu bermusyawarah dengan pemb


Khilafah Bani Umayyah (Masa Kemajuan Islam)
Khilafah Bani Umayyah berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah, dimana pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun), yang diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak.Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya "khalifah Allah" dalam pengertian "penguasa" yang diangkat oleh Allah.
Khalifah besar Bani Umayyah ini adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685- 705 M), al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717- 720 M) dan Hasyim ibn Abd al-Malik (724- 743 M).
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Utsman dan Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman al-Walid ibn Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Marokko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Sevi'e, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar ibn Abd al-Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abd al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abd al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan Khalifah Abd al-Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid ibn Abd al-Malik (705- 715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdulah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi'ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadab Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Makkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi'ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
Perlawanan orang-orang Syi'ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein. Gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi'ah terjadi. Yang termashur diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali. yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya, gerakan Abdullah ibn Zubair. Namun, ibn Zubair juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi'ah.
Abdullah ibn Zubair membina gerakan oposisinya di Makkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid. Akan tetapi, dia baru menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husein ibn Ali terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung Makkah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan terhenti karena Yazid wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus. Gerakan Abdullah ibn Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abd al-Malik. Tentara Bani Umayyah dipimpin al-Hajjaj berangkat menuju Thaif, kemudian ke Madinah dan akhirnya meneruskan perjalanan ke Makkah. Ka'bah diserbu. Keluarga Zubair dan sahabatnya melarikan diri, sementara ibn Zubair sendiri dengan gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya terbunuh pada tahun 73 H/692 M.
Selain gerakan di atas, gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan kelompok Khawarij dan Syi'ah juga dapat diredakan. Keberhasilan memberantas gerakan-gerakan itulah yang membuat orientasi pemerintahan dinasti ini dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol. Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M). Ketika dinobatkan sebagai khalifah, dia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi'ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab. Sepeninggal Umar ibn Abd al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid ibn Abd al-Malik (720- 724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd al-Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Maiik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya.
Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah:
Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.

Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi'ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.

Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.

Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.

Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi'ah, dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
Khilafah Bani Abbas (Masa Kemajuan Islam)
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dam budaya.
Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama.
Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. karena itu, pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah yang merasa dikucilkan dari kekusaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir, karena tidak bersedia membaiatnya, dibunuh oleh Abu Muslim al-Khurasani atas perintah Abu Ja'far. Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia, Clesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan Penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator departemen, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan perananya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Diantara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.
Pada masa al-Manshur pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata, "Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)". Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Disamping itu, berbeda dari daulat Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar tahta", seperti al-Manshur adalah "gelar tahta". Abu Ja'far. "gelar tahta" itu lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja'far al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M). Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Al-Ma'mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tashim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.
Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindik di Persia, gerakan Syi'ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan. Semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Disamping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Ummayah.
Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun al-Rasyid.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i (767-820 M) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M).
Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murjiah dan Mu'tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasjonal Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena al-Asy'ari sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al- Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibn Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Diantara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata "aljabar" berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Diantara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah al-Syifa'. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama. Namun sayang, setelah periode ini berakhir, Islam mengalami masa kemunduran.


Kemajuan Sains dan Teknologi Pada Masa Kekhilafahan Islam
Menelusuri sejarah peradaban kaum Muslim sama artinya dengan membuka kembali lembaran-lembaran sejarah yang menggambarkan kemajuan yang pernah diperoleh oleh generasi kaum Muslim terdahulu. Zaman keemasan kaum Muslim saat itu dikenal dengan sebutan The Golden Age. Pada saat itu, kaum Muslim berhasil mencapai puncak kejayaan sains dan ilmu pengetahuan yang memberikan kemaslahatan yang amat besar bagi peradaban umat manusia pada umumnya.
Pada masa itu, berbagai cabang sains dan teknologi lahir. Sains dan teknologi yang telah diletakkan dasar-dasarnya oleh peradaban-peradaban sebelum Islam mampu digali, dijaga, dikembangkan, dan dijabarkan, secara sederhana oleh kaum Muslim. Sains dan teknologi tersebut kemudian diwariskan kepada generasi dan peradaban modern serta turut memberikan andil yang amat besar bagi proses kebangkitan kembali (renaissance) bangsa-bangsa Eropa.
Bisa dikatakan, kebangkitan kembali bangsa Eropa yang memicu proses industrialisasi besar-besaran di Eropa dan Amerika tidak akan muncul jika para pionir Eropa tidak belajar kepada kaum Muslim. ‘Berkah’ Perang Salib yang berkecamuk hampir selama dua abad antara kaum Muslim dan Eropa yang Kristen telah membuka mata bangsa Eropa terhadap kemajuan sains dan teknologi yang dimiliki oleh kaum Muslim. Mereka masih sempat merampas buku-buku dan berbagai manuskrip kuno yang merekam perkembangan sains dan teknologi yang tersimpan di perpustakan-perpustakaan milik kaum Muslim, meskipun sebagian besarnya mereka bakar.
Untuk mengetahui betapa hebatnya kemajuan sains dan teknologi yang pernah dicapai oleh kaum Muslim pada masa pemerintahan para khalifah Islam di masa lalu, perjalanan tarikh kali ini akan menguak beberapa cabang sains dan teknologi.
A. Ilmu Bumi
Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun (paruh pertama abad IX M), Al-Khawarizmi dan 99 orang asistennya telah membuat peta bumi sekaligus peta langit (peta bintang). Mereka berhasil mengukur lingkaran bumi dengan tingkat akurasi yang amat tinggi dengan dilandaskan pada pemahaman bahwa bumi itu bentuknya bulat. Kesimpulan tersebut diperoleh setelah eksperimen sederhana dilakukan di dataran Sinyar (dekat kota Palmyra). Dengan menggabungkan pengetahuan matematika sederhana (sinus, cosinus dan tangent) dengan sudut jatuh sinar matahari serta peredaran bumi dalam setahun, mereka menyimpulkan bahwa derajat zawal = 56 2/3 mil atau 959 yard lebih panjang dari nilai yang sebenarnya. Setelah diperoleh derajat zawal, mereka dapat menghitung panjang keliling bumi, yaitu 20.000 mil, dan jari-jari bumi 6.500 mil.
Pada saat yang sama, bangsa Eropa masih yakin bahwa bumi itu datar, hingga Columbus berhasil menginjakkan kakinya di benua Amerika, dan membuktikan bahwa bumi itu bulat.
Upaya para intelektual Muslim saat itu untuk memetakan bumi—beserta informasi mengenai keadaan alam, hasil bumi, dan barang tambangnya—telah dimulai pada abad ke-9 M. Al-Muqaddasi (Abu ‘Abdillah) yang hidup pada tahun 985 M melakukan pengembaraan panjang mendatangi berbagai negeri hingga 20 tahun lamanya. Tujuannya adalah untuk menyusun ensiklopedia sederhana mengenai ilmu bumi. Ia memberikan banyak informasi yang amat teliti tentang tempat-tempat yang dikunjunginya.
Sejak saat itu, mulailah berkembang upaya-upaya spesifik yang akan melahirkan cabang ilmu historio topographical maupun demografi. Di antara buku-buku ilmu bumi yang banyak tersebar saat itu ada yang memfokuskan tentang sejumlah peraturan pos pada masa para khalifah dan peraturan mengenai kharaj di masing-masing wilayah; ada pula yang menggambarkan kondisi udara (tingkat hujan, kelembaban, intensitas sinar matahari dsb), pertambangan/logam; dan sejenisnya.
Pada pertengahan abad ke-10 M, Al-Astakhri menerbitkan karyanya tentang ilmu bumi negeri-negeri Islam yang disertai dengan peta berwarna yang membedakan data potensi masing-masing negeri. Pada akhir abad ke-11 M, Al-Biruni mengekspose bukunya tentang ilmu bumi Rusia dan Eropa Utara. Ia adalah Abu Raihan Biruni yang lahir di negara bagian Khurasan. Ia belajar ilmu pasti, astronomi, kedokteran, matematika, sejarah, serta ilmu tentang bangsa India dan Yunani. Ia sering melakukan korespondensi dengan Ibn Sina.
Pertengahan abad ke-12 M, Al-Idrisi, seorang ahli ilmu bumi dan pelukis peta, telah membuat peta langit dan bola bumi yang berbentuk bulat. Kedua karyanya itu dibuat dari perak dan dihadiahkan kepada Raja Roger II dari Sisilia. Namun demikian, hasil karya Al-Idrisi yang amat terkenal adalah peta sungai Nil. Peta tersebut menjelaskan asal sumbernya (hulu sungai) yang kemudian dijadikan acuan bagi pengelana Eropa dalam menemukan hulu sungai Nil pada abad ke-19 M.
Tahun 1290 M, Quthbuddin as-Syirazi, ahli ilmu bumi, berhasil membuat peta Laut Mediterania, yang kemudian dihadiahkannya kepada Gubernur Persia saat itu. Pada era yang sama, Yaqut ar-Rumi (1179-1229) menyusun ensiklopedia ilmu bumi tebal yang terdiri dari 6 jilid. Ensiklopedia ini dikemas dengan judul, Mu‘jam al-Buldân.
B. Ilmu Astronomi
Khalifah al-Manshur dari generasi ke-Khilafahan Abasiyah pernah memerintahkan untuk menerjemahkan buku tentang astronomi yang berasal dari India yang berjudul Sidhanta. Penerjemahnya adalah al-Farabi (meninggal antara 796-806 M). Ia kemudian terkenal sebagai astronom pertama di dalam sejarah Islam.
Sepeninggal al-Farabi, direktur yang membidangi ilmu astronomi adalah al-Khawarizmi. Ia berhasil merumuskan perjalanan matahari dan bumi serta menyusun jadwal terbitnya bintang-bintang tertentu. Pada masa pemerintahan al-Makmun, al-Khawarizmi berhasil menemukan kenyataan tentang miringnya zodiak (rasi/letak) bintang. Ia berhasil pula memecahkan perhitungan sulit yang disebut dengan persamaan pangkat tiga (a qubic equation), yang oleh Archimides pernah disinggung, tetapi tidak berhasil dipecahkan. Penemuannya yang paling masyhur dan tetap digunakan dalam berbagai cabang ilmu adalah ditemukan dan mulai digunakannya angka nol serta berhasil disusunnya perhitungan desimal. Perlu diketahui bahwa bangsa Romawi, Yunani, maupun berbagai peradaban sebelum Islam, penjumlahan maupun pengurangan, bahkan lambang angka/bilangan belum mengenal angka nol.
Pakar-pakar astronomi yang pernah hidup pada masa itu, antara lain, adalah Ahmad Nihawand; Habsi ibn Hasib (831 M); Yahya ibn Abi Manshur (hidup antara 870-970 M); an-Nayruzi (922 M), pengulas buku Euclides dan penulis beberapa buku tentang instrumen untuk mengukur jarak di udara dan laut; al-Majriti (1029-1087 M), yang dikenal lewat bukunya, Ta‘dîl al-Kawâkib; az-Zarqali (1029-1089 M), yang di Barat lebih dikenal sebagai Arzachel; Nashiruddin at-Tusi (wafat 1274) yang membangun observatorium di kota Maragha atas perintah Hulaghu.
Az-Zarqali berhasil membeberkan kepada dunia cara menentukan waktu dengan mengukur tinggi matahari. Ia adalah orang pertama yang membuktikan gerak apogee matahari dibandingkan dengan kedudukan bintang-bintang. Menurut perhitungannya, gerak itu besarnya 12,04 derajat. Bandingkan akurasinya dengan nilai sebenarnya yang diperoleh saat ini, yaitu 11,8 derajat.
Ibn Jaber al-Battani, yang dikenal orang Eropa sebagai Al-Batanius (858-929 M), berhasil mengembangkan beberapa penyelidikan yang pernah dilakukan oleh Ptolomeus. Ia memperbaiki perhitungan-perhitungan mengenai waktu dan jarak tempuh bulan maupun beberapa planet. Ia juga membuktikan kemungkinan terjadinya gerhana matahari setiap tahun. Perhitungannya yang teliti tentang besarnya kemiringan ekliptika, panjang tahun tropis, waktu dan jarak tempuh matahari diakui oleh pakar-pakar astronomi.
Pada masa Bani Fatimiyah berkuasa, pakar astronom Muslim ternama, Ali ibn Yunus (meninggal tahun 1009 M) mempersembahkan sebuah buku mengenai ilmu astronomi kepada negara berjudul Al-Zij al-Kâbir al-Hâkimî. Manfaat buku ini diakui oleh para pakar astronomi sehingga disalin ke bahasa Persia oleh ‘Umar Khayyam. Umar Khayyam sendiri berhasil menyusun sistem penanggalan yang lebih teliti dibandingkan dengan penanggalan Gregorian, karena penyimpangannya hanya satu hari dalam 5000 tahun, sedangkan penanggalan Gregorian penyimpangannya satu hari dalam 3300 tahun). Buku Ali ibn Yunus juga diterjemahkan ke dalam bahasa China oleh Co Cheon King (tahun 1280 M). Pada masa yang sama, al-Biruni (1048 M) memaparkan teorinya mengenai rotasi bumi, perhitungan serta penentuan bujur dan lintang bumi dengan akurasi yang amat teliti.
C. Ilmu Pasti/Matematika
Bangsa Barat mengenal angka-angka Arab, atau biasa disebut algoritma, dengan menisbatkannya kepada al-Khawarizmi, seorang pakar matematika dan aljabar. Kata algoritma, yang disingkat menjadi augrim, bersumber dari buku-buku al-Khawarizmi. Orang-orang Eropa saat itu amat terpengaruh oleh teori-teorinya yang brilian. Hal itu tampak dalam buku Karmen de Algorismo, karangan Alexander de Villa Die (tahun 1220 M), dan buku Algorismus Vulgaris, karangan John of Halifax (tahun 1250 M).
Buku al-Khawarizmi yang paling masyhur adalah Hisâb al-Jabr wa al-Muqâbalah. Gerald of Cremona menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Latin, yang edisi Inggrisnya berjudul The Mathematics of Integration and Equations. Buku ini menjadi referensi utama di berbagai perguruan tinggi Eropa hingga abad ke-16 M. Selain itu, al-Khawarizmi berhasil mengembangkan perhitungan Platolemy dalam perhitungan busur dan ilmu ukur sudut dengan mengetengahkan istilah sinus serta menyusun penyelesaian yang sistematis dalam persaman pangkat dua. Ibn Ibrahim al-Fazari mengembangkannya lebih lanjut hingga ke bentuk persamaan pangkat tiga. Hal sama sebenarnya juga dilakukan dalam persamaan pangkat tiga oleh Abu Ja’far al-Khazen (960 M). Hanya saja, ia lebih memfokuskan penggunaan aljabar dalam ilmu ukur, dan ia adalah peletak dasar bagi ilmu ukur analitis.
Keahlian dalam aljabar yang digunakan dalam ilmu ukur sudut didalami oleh Al-Battani (858-929 M). Dialah yang menguraikan persamaan sin Q/cos Q = k. Ia pun menjabarkan lebih lanjut formulasi cos a = cos b cos c + sin b sin c cos a pada sebuah segi tiga.
Abu al-Wafa (940-998 M) termasuk kelompok pertama pakar matematika yang mengungkapkan teori sinus dalam kaitannya dengan segi tiga bola. Ia orang pertama yang menggunakan istilah tangent, cotangent, secant, dan cosecant dalam ilmu ukur sudut, yang sekaligus membuktikan adanya hubungan di antara keenam unsur itu.
Jabir ibn Aflah, yang dikenal oleh bangsa Eropa dengan sebutan Geber (wafat tahun 1150 M), telah menulis buku dalam ilmu astronomi sebanyak 9 jilid. Para pengkaji manuskrip kuno menganggap bahwa bukunya merupakan pengembangan labih lanjut dari buku Almagest-nya Platomeus. Jabir ibn Aflah adalah orang pertama yang menyusun formulasi cos B = cos b sin A, cos C = cos A cos B pada sebuah segi tiga, yang sudut C-nya siku-siku.
D. Ilmu Fisika
Pencapaian kaum Muslim dalam perkembangan ilmu fisika, sama pesatnya dengan perkembangan yang diperoleh dalam ilmu pasti maupun ilmu kimia. Salah seorang pakar ilmu fisika yang terkenal pada abad ke-9 M adalah al-Kindi. Ia menguraikan hasil eksperimennya tentang cahaya. Karyanya tentang fenomena optik diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, De Sspectibus, dan memberikan pengaruh besar dalam proses pendidikan Roger Bacon.
Di samping itu, ada pula Ibn Haytham, yang di Barat lebih dikenal sebagai Alhazen (965-1039 M). Ia bukan saja ahli dalam bidang ilmu pasti dan filsafat, tetapi juga amat mumpuni dalam bidang ilmu optik dan pencahayaan. Sebanyak 200 judul buku mengenai optik dan pencahayaan dinisbatkan kepada Ibn Haytham. Teorinya yang amat terkenal adalah tentang sumber cahaya yang menyebabkan benda dapat dilihat. Ditegaskan juga bahwa cahaya itu bukan berasal dari mata yang melihat melainkan dari benda tersebut. Teori ini jelas-jelas bertentangan dengan teori Euclides dan Platomeus yang mengatakan bahwa benda dapat dilihat karena mata yang bercahaya. Ibn Haytham juga menunjukkan tentang fenomena refleksi dan refraksi cahaya. Ia juga membuktikan adanya perbedaan berat jenis antara udara dengan benda-benda. Teorinya ini mendahului teori yang sama yang dikeluarkan atas nama Torricelli jauh lima abad sebelumnya. Ibn Haytham pula yang mulai melakukan eksperimen tentang gravitasi bumi jauh sebelum Newton merumuskan teorinya tentang gravitasi. Kepiawaian Ibn Haytham dalam ilmu optik membuatnya berhasil menemukan lensa pembesar pertama. Padahal, lensa sejenis baru dapat dibuat di Italia beberapa abad kemudian. Buku Ibn Haytham yang membahas tentang optik diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1572 M. Bukunya amat mempengaruhi para sarjana Eropa di abad pertengahan seperti Keppler, Bacon, maupun Leonardo da Vinci.
Pembahasan tentang mekanika yang dituangkan dalam sebuah buku berjudul, Kitâb fî Ma‘rifah, karya al-Jazari (nama aslinya Badi’uz Zaman Ismail) muncul pada awal abad ke-13 M. Di dalamnya diuraikan berbagai fenomena mekanika sederhana yang menjadi dasar bagi para sarjana Eropa dalam menyusun ilmu mekanika moderen.
E. Ilmu Sejarah Alam
Tumbuhan maupun hewan tidak luput dari sasaran pengkajian ilmiah para intelektual Muslim. Perkebunan (botanical garden) yang sederhana dijadikan tempat untuk melakukan eksperimen. Hal itu dijumpai di kota-kota seperti Baghdad, Kairo, Cordova dan lain-lain. Melalui eksperimennya, para intelektual Muslim berhasil mengetahui perbedaan jenis tumbuh-tumbuhan, membagi tumbuhan berdasarkan tempat asalnya, mempelajari bermacam-macam perbanyakan tumbuhan, dan mulai menyusun klasifikasi tumbuhan secara sederhana.
Pada abad ke-11 M, pakar pertanian bernama Abu Zakaria Yahya menulis buku tentang pertanian berjudul Kitâb al-Falahah. Langkahnya kemudian diikuti oleh Abu Ja‘far al-Qurthubi (1165 M) yang menyusun buku yang berisi seluruh jenis tumbuhan yang dijumpai di daerah Andalusia dan Afrika Utara. Setiap jenis tumbuhan diberi nama Arab, Latin, dan Barbar. Periode ini diikuti oleh Ibn Baythar (1248 M), yang melakukan ekseperimen tentang rumput-rumputan dan berbagai jenis tumbuhan. Ia menyusun dua buah judul buku hasil penyelidikannya. Salah satunya memuat keterangan rinci lebih kurang 200 jenis tumbuhan. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1759 M di Cremona.
Kaum Muslim turut memberikan andil bagi para pakar tumbuhan dan menyediakan informasi yang amat berguna mengenai sekitar 2000 jenis tumbuh-tumbuhan yang sebelumnya belum dikenal.
Pakar zologi yang terkenal antara lain adalah al-Jahir. Ia menulis buku berjudul Kitâb al-Hayawân. Di dalamnya dijelaskan anatomi sederhana, makanan, kebiasaan hidup, serta manfaat yang diperoleh dari berbagai jenis hewan. Di samping itu, terdapat pula ad-Damiri (1405 M), seorang pakar zologi yang berasal dari Mesir.
F. Ilmu Kedokteran
Perhatian kaum Muslim terhadap ilmu kedokteran sudah ada sejak peradaban Islam terbentuk di kota Madinah, ditambah lagi dengan kebutuhan yang dijumpai setiap kali kaum Muslim melakukan jihad fi sabilillah. Ilmu kedokteran termasuk cabang ilmu yang paling pesat perkembangannya di Dunia Islam saat itu, karena manfaatnya dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Wajar kalau Khalifah Harun ar-Rasyid (abad ke IX M) memberikan perhatian yang amat besar dengan membuka fakultas khusus tentang ilmu kedokteran di berbagai perguruan tinggi di kota Baghdad, lengkap dengan rumah sakitnya. Seiring dengan perkembangannya, berbagai buku tentang ilmu kedokteran pun mulai tersebar luas. Buku-buku tersebut di kemudian hari disalin ke dalam bahasa Latin.
Kemungkinan besar, buku kedokteran pertama yang disusun oleh pakar kedokteran Muslim adalah Firdaus al-Hikmah. Buku tersebut ditulis pada tahun 850 M oleh Ali at-Tabari. Pada saat yang sama, Ahmad ibn at-Tabari melakukan eksperimen pertama tentang penyakit kurap. Ia termasuk pakar kedokteran pertama yang berhasil menyingkap penyakit kulit tersebut.
Di kota Baghdad, muncul pula pakar kedokteran bernama Abubakar Muhammad ibn Zakaria. Ia dikenal dengan ar-Razi (864-932 M). karangan-karangannya tergolong sebagai encyclopedia karena tebal dan banyaknya. Untuk bidang kedokteran saja, ia menyusun sekitar 200 judul buku. Prestasinya yang hebat dipandang oleh sebagian orientalis melebihi prestasi Galinus, seorang filosof Yunani terkenal. Di antara bukunya yang terkenal adalah Al-Manshûri. Buku tersebut terdiri dari 10 jilid dan telah disalin ke dalam bahasa Latin (di kota Milano) pada akhir abad ke-15 M. Bukunya yang lain adalah Al-Judari wa al-Hasbah. Buku tersebut mengupas tentang penyakit cacar dan campak. Buku ini tergolong sebagai buku pertama yang membahas penyakit cacar dan campak serta penjelasan mengenai cara-cara pencegahan dan pengobatannya. Buku ini telah disalin ke dalam bahasa Latin tahun 1565 M. Buku lainnya adalah Al-Hawi yang terdiri dari 20 jilid. Buku ini memaparkan sejarah dan mengumpulkan berbagai penemuan di bidang kedokteran yang pernah dijumpai dalam peradaban Yunani, Persia, India, dan hasil analisis sang penyusunnya sendiri. Tahun 1279 M, buku ini disalin di Sisilia ke dalam bahasa Latin dan dicetak tahun 1486 M.
Ali ibn ‘Abbas (994 M) menyusun buku berjudul Kitâb al-Mâlik. Buku ini mengupas tentang masalah gizi dan pengobatan dengan menggunakan rempah-rempah. Ia juga menyusun buku lainnya yang memaparkan tentang sistem peredaran darah di dalam pembuluh, kehamilan dan persalinan, dan banyak lagi yang lain.
Dalam spesialisasi penyakit mata, terdapat nama-nama seperti al-Haysam (965 M), Ali al-Baghdadi, ‘Ammar al-Moseli (yang menulis buku Al-Muntakhah fî al-‘Ilâj al-‘Ayn). Buku-buku mereka mereka telah disalin ke dalam bahasa Latin dan dicetak berulang-ulang bagi mahasiswa kedokteran Eropa pada abad pertengahan.
Pakar farmasi (obat-obatan) yang terkenal di Dunia Islam adalah Ibn Bayhthar ad-Dimasyqi (1197-1248 M) yang menyusun buku Al-Adwiyah al-Mufradah. Buku tersebut berisi kumpulan berbagai resep obatan-obatan. Penulisnya menjadi peletak dasar ilmu farmasi. Sedemikian besar manfaatnya di Eropa, buku ini sempat dicetak ulang sebanyak 23 kali pada abad ke-15 M dan diberi judul Simplicibus.
Spesialis bedah yang terkenal adalah Ibn Qasim az-Zahrawi al-Qurthubi (lahir 1009 M). Ia menyusun buku berjudul At-Tashrîh. Beberapa bagian buku ini disalin oleh Gerald of Cremona pada abad ke-16 M ke dalam bahasa latin. Hingga abad ke-18 M, buku ini dijadikan referensi di berbagai perguruan tinggi kedokteran Eropa, terutama ilmu bedah. Di dalam buku itu juga dijelaskan jenis-jenis dan penggunaan alat bedah, perlakuan pasca bedah yang mencakup sterilisasi luka, dan sejenisnya.
Menyinggung perkembangan ilmu kedokteran Islam, tidak lengkap tanpa menyebut Ibn Sina (1037 M). Bukunya yang terkenal adalah Al-Qânûn fî ath-Thibb yang dianggap sebagai ensiklopedia ilmu kedokteran dan ilmu bedah terlengkap pada zamannya. Selama kurun waktu abad ke-12 sampai abad ke-14 M, buku ini dijadikan referensi utama pada fakultas kedokteran di berbagai perguruan tinggi Eropa. Sejak abad ke-15 M, buku ini telah dicetak ulang sebanyak 15 kali, bahkan beberapa bagian buku tersebut masih dicetak tahun 1930 di kota London. Sedemikian terkesannya orang-orang Eropa terhadap buku-buku dan prestasi Ibn Sina hingga Encyclopedia Britannica mengutip ucapan salah seorang orientalis Sir Thomas Clifford yang berkata, “Orang-orang Eropa berpendapat bahwa karya-karya Ibn Sina dalam ilmu kedokteran telah menenggelamkan karya-karya lain seperti karya Hypocrates, bahkan karya Galinus sekali pun.”
Selain itu terdapat juga spesialis ilmu tulang dan mikrobiologi, seperti Ibn Zuhr (1162 M), yang di Barat lebih dikenal sebagai Avenzoar. Bukunya yang terkenal adalah At-Taysîr fî Mudâwah wa at-Tadbîr. Ibn Rusyd—seorang dokter, penulis buku Al-Kulliyât fî ath-Thibb, sekaligus seorang faqih penulis buku Bidâyah al-Mujtahid—berkomentar bahwa Ibn Zuhr adalah seorang pakar kedokteran Islam yang paling besar.
Sejarah Islam juga dipenuhi degan pakar kedokteran lain yang memiliki spesialisasi di bidang epidemi dan kesehatan lingkungan, seperti Lisanuddin ibn al-Khatib (1313-1374 M) yang menyusun kitab tentang penularan penyakit. Ia mengikuti jejak dari Ibn Jazlah (110 M), yang di Eropa lebih dikenal dengan sebutan Ben Gesla. Ia menyingkap tentang periodisasi dan jadwal berbagai penyakit dengan memperhitungkan cuaca. Ia juga menentukan obat-obatan bagi masing-masing penyakit yang dianalisisnya. Bukunya telah disalin dan dicetak di Tassburg tahun 1532 M.
Perhatian para khalifah dan kaum Muslim terhadap kesehatan dan ilmu kedokteran direalisasikan dengan dibukanya poliklinik harian dan poliklinik keliling. Para dokter yang bertugas di situ bertugas bukan saja membuka pelayanan umum bagi masyarakat, tetapi juga bagi orang-orang sakit yang ada di lembaga pemasyarakatan. Sistem pemeriksaan secara periodik bagi para pegawai yang memperoleh beban tugas tertentu dan membutuhkan kriteria kesehatan yang amat ketat merupakan prosedur rutin yang sudah dilakukan oleh kaum Muslim. Pada saat yang sama, di Eropa terdapat kepercayaan bahwa mandi itu dapat mengakibatkan penyakit tertentu, dan penggunan sabun sebagai alat pembersih sangat berbahaya bagi mereka.
Tidak pelak lagi, pencapaian sains dan teknologi yang amat tinggi, yang tidak pernah dicapai oleh umat manusia pada masa sebelumnya, adalah berkat diterapkannya Islam sebagai sebuah sistem hidup dan ideology. Benar kiranya pernyatan salah seorang intelektual Muslim dari Mesir, Syekh Syaqib Arselan, yang mengatakan bahwa orang-orang Barat maju karena meninggalkan agamanya, dan kaum Muslim mundur karena meninggalkan agamanya. [] (www.khilafahinfo.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar